Oleh : Syahroni Ali
Dewasa ini jumlah kualitas sumber daya alam di Dunia semakin menurun. Hal ini tentunya akan sangat berpengaruh terhadap manusia yang masih menggantungkan hidupnya terhadap sumber daya alam. Manusia setidaknya akan menggunakan 50 persen lebih banyak dari sumber daya alam yang disediakan oleh Bumi, bahkan ini akan terus berlangsung sangat cepat sampai pada tahun 2030, sedangkan bumi membutuhkan waktu selama 1,5 tahun untuk dapat menghasilkan dan mengisi sumber daya yang telah habis pada waktu satu tahun.
Permintaan manusia yang terus meningkat pada sumber daya alam dapat menempatkan tekanan yang sangat luar biasa terhadap keanekaragaman hayati yang tentunya akan mengancam pada wilayah keamanan, kesehatan, kesetaraan, dan kesejahteraan. Negara Indonesia saat ini juga mengalami permasalahan yang cukup serius mengenai pencemaran dan kerusakan lingkungan yang semakin hari semakin meningkat. Permasalahan lingkungan hidup masih menjadi tanggung jawab besar karena menyangkut kualitas kehidupan yang akan datang sampai generasi manusia berikutnya.
Sebagai contoh kasus hukum lingkungan yang akan dibahas, yaitu tindakan pidana terhadap pencemaran lingkungan oleh limbah sawit di kabupaten bengkalis. Tindak pidana lingkungan, yang penjatuhan pidana di bawah batas minimum khusus juga ditemui dalam putusan Pengadilan Negeri Bengkalis, dengan nomor putusan 162/Pid.B/LH/2023/PN.Bls, atas nama terdakwa Erik Kurniawan selaku Direktur PT. Sawit Inti Prima Perkasa.
Kronologi singkat kasus hukum lingkungan di atas adalah bahwa PT. Sawit Inti Prima Perkasa (PT. SIPP) didirikan berdasarkan Akta Notaris Nomor 11 tanggal 27 Agustus 2012. Bahwa pada tanggal 3 Oktober 2020 terjadi 4 dari 13 kolam penampungan Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL) milik PT.SIPP jebol, yang mana air limbah dari kolam yang jebol mengalir ke lahan sekitar pabrik dan aliran anak sungai sehingga mengenai lahan masyarakat sekitar namun terdakwa yang bertugas menangani limbah tidak mengganti kolam penampungan IPAL.
Sehingga pada tanggal 2 Februari 2021 kolam penampungan IPAL milik PT. SIPP kembali jebol sehingga masyarakat sekitar melaporkan kepada Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Bengkalis, namun terdakwa tidak juga menghadiri pertemuan antara perwakilan PT. SIPP dan masyarakat yang terkena dampak jebolnya kolam IPAL dan sampai saat ini masyarakat belum mendapat perbaikan pada tanah dan tumbuhan yang terkena dampak jebolnya IPAL PT.SIPP. Maka berdasarkan laporan tersebut dilakukan penyidikan oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) dan Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kabupaten Bengkalis pada tanggal 21 September 2022 sampai dengan tanggal 10 Oktober 2022.
Berdasarkan hasil penyidikan diperoleh informasi bahwa menurut Prof. Etty Riani selaku ahli Ekologi dan Ekotoksikologi dari Institut Pertanian Bogor menerangkan PT.SIPP merupakan industri yang mempunyai house keeping yang "buruk" sehingga limbah padat (sampah) dan limbah cair teronggok dan berceceran di berbagai tempat, dan ada indikasi bahwa dalam mengolah limbahnya tidak bagus. Hal ini terlihat dari IPAL yang tidak terlihat ada hubungan antara satu dengan lainnya, dengan peralatan yang juga kurang memadai.
Sehingga dalam kondisi seperti itu umumnya akan memiliki fungsi yang juga akan kurang maksimal. Selain hal tersebut, juga terdapat banyak sampah berupa cangkang sawit yang menggunung di beberapa tempat tanpa ada pelindung, sehingga akan mudah terjadi pembusukan, dan air lindinya mengalir ke berbagai lokasi, sehingga mencemari udara, air dan tanah. Hal ini terlihat dari aroma tidak sedap yang tercium di berbagai lokasi, air saluran drainase yang berwarna kehitaman dengan bau yang juga sangat menyengat dan terdapat banyak binatang yang hidup di dalamnya mulai dari lalat, cacing dsb.
Dari proses yang telah dilakukan maka terdakwa dilimpahkan ke Kejaksaan Negeri untuk memasuki tahap penuntutan. Maka Terdakwa secara sah dan meyakinkan telah terbukti besalah melakukan tindak pidana "melakukan tindak pidana lingkungan hidup dilakukan oleh, untuk, atau atas nama badan usaha, tuntutan pidana dan sanksi pidana dijatuhkan kepada orang yang memberi perintah untuk melakukan tindak pidana tersebut atau orang yang bertindak sebagai pemimpin kegiatan dalam tindak pidana tersebut telah melakukan, menyuruh melakukan, turut serta melakukan, perbuatan yang mengakibatkan dilampauinya baku mutu udara ambien, baku mutu air, baku mutu air laut, atau kriteria baku kerusakan lingkungan hidup" sesuai pasal 98 ayat 1 Undang Undang 32 Tahun 2009 dengan tuntutan pidana penjara selama 7 tahun dengan denda Rp. 4.000.000.000 subsider 1 bulan kurungan.
Setelah melakukan proses sidang berdasarkan bukti-bukti yang ada, maka hakim pengadilan negeri Bengkalis menyatakan bahwa terdakwa dinyatakan bersalah telah melakukan dumping limbah dan/atau bahan ke media lingkungan hidup sesuai pasal 104 Undang Undang No. 32 Tahun 2009 dan dijatuhi hukuman pidana penjara selama 1 tahun dan denda sejumlah Rp. 200.000.000 dengan ketentuan apabila denda tersebut tidak dibayar maka diganti dengan pidana kurungan selama 2 bulan.
Dengan menetapkan pidana tersebut tidak perlu dijalani oleh terdakwa kecuali jika dikemudian hari ada perintah lain dalam Putusan Hakim oleh karena terdakwa telah melakukan suatu tindak pidana sebelum berakhir masa percobaan selama 2 Tahun. Serta menjatuhkan pidana tambahan berupa perbaikan akibat tindak pidana, yaitu
1. Biaya pemulihan lingkungan sejumlah Rp. 250.000.000 dalam jangka waktu paling lama 6 bulan.
2. Memperbaiki kinerja Instalasi Pengelolaan Air Limbah (IPAL) sehingga air limbah yang dibuang ke media lingkungan sudah memenuhi ketentuan baku mutu dalam jangka waktu paling lama 1 tahun.
3. Memeriksa kadar parameter buku mutu air limbah cair secara periodik, sekurangnya sekali dalam sebulan atas biaya perusahaan pada laboratorium rujukan.
4. Pelaksanaannya diawasi oleh Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Bengkalis
Adapun analisis penulis, sebagai berikut :
Pertama, penegakan hukum lingkungan merupakan ultimum remedium atau upaya hukum terakhir karena tujuannya adalah untuk menghukum pelaku dengan hukuman penjara atau denda. Namun, menurut penulis penegakan hukum pidana lingkungan diatas sebagai ultimum remedium melalui pemberian pidana penjara atau denda kepada pelaku pencemaran atau perusakan lingkungan baik korporasi maupun perorangan, tidaklah dapat sepenuhnya memuaskan rasa keadilan masyarakat. Karena alam yang telah tercemar dan/atau rusak tidak dapat diselesaikan dengan memenjarakan pelaku. Apalagi jika hukuman tersebut tidak sesuai dengan apa yang telah dilakukan oleh pelaku.
Putusan hakim pada kasus diatas hanyalah merupakan penegakan hukum administratif saja. Penegakan hukum administratif perlu kembali kita lihat pada pasal 517 ayat 1 Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 2001 tentang Penyelenggaraan Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup yang menyebutkan bahwa besaran denda administratif dengan kriteria melakukan perbuatan yang melebihi baku mutu air limbah dan/atau baku mutu emisi dihitung berdasarkan unit beban pencemar yang melebihi baku mutu air. Sedangkan pada ayat 3 menyebutkan bahwa denda administratif tersebut dihitung secara akumulasi setiap parameter yang dilampaui baku mutunya paling banyak 3 milyar rupiah.
Setelah itu barulah ditentukan berdasarkan tingkat pelanggrannya pada pasal 518 yaitu pelanggaran ringan,sedang atau berat. Perlu pula kita ingat bahwa pada pasal 78 UU PPLH menyebutkan bahwa sanksi administratif tidak membebaskan penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan dari tanggung jawab pemulihan dan pidana.
Kedua, Putusan Hakim pengadilan negeri Bengkalis tersebut hanya menitikberatkan pada perbaikan kinerja Instalasi Pengelolaan Air Limbah (IPAL) saja tanpa mempertimbangkan bahwa terdakwa telah melakukan, menyuruh melakukan, turut serta melakukan, perbuatan yang mengakibatkan dilampauinya baku mutu udara ambien, baku mutu air, baku mutu air laut, atau kriteria baku kerusakan lingkungan hidup sehingga telah terjadi pencemaran di Sungai Batang Apak yang merupakan sungai yang terkena langsung pembuangan IPAL milik PT.SIPP.
Ketiga, kebocoran keempat kolam Instalasi Pengelolaan Air Limbah (IPAL) pada PT. SIPP telah diganti secara administratif oleh PT.SIPP namun hal tersebut tidak sesuai dengan fakta dilapangan, karena terbukti bahwa air Sungai Batang Apak telah tercemar yang diakibatkan oleh kebocoran 4 kolam IPAL PT.SIPP tersebut.
Selain itu, putusan hakim pengadilan negeri bengkalis bahwa telah dibayarkannya sanksi administratif yang dilakukan PT.SIPP kepada Pemerintah Daerah tidak menghilangkan perbuatan pidana karena air sungai sudah tercemar, ini dapat dilihat pada pasal 78 Undang Undang 32 Tahun 2009 yang menyatakan bahwa sanksi administratif tidak membebaskan penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan dari tanggung jawab pemulihan dan pidana.
Artinya, bahwa apa yang dilakukan oleh PT.SIPP terhadap pencemaran air Sungai semestinya dituntut sesuai dengan tuntutan penuntut umum yaitu pasal 98 Undang Undang 32 Tahun 2009 namun hakim mengesampingkan perbuatan tersebut. Dari analisis di atas, penulis berharap ada upaya terbaik yang dilakukan secara optimal seperti pencegahan atau penangkalan agar pelaku usaha tidak terlanjur berlarut-larut membuang limbahnya ke alam bebas, untuk itu hukum lingkungan harus diperkuat peranannya sebagai institusi pencegah atau penangkal.
Sebagai lembaga pengawas aparat penegak hukum lingkungan dapat secara terus menerus melakukan pengawasan agar tidak terjadi pelanggaran ketentuan perundang-undangan. Dan masyarakat mempunyai kesadaran yang tinggi untuk menjaga alam sekitar lingkungannya serta diharapkan dapat segera melaporkan kepada aparat penegak hukum yang berwenang (KHLK). Selanjutnya hal-hal tersebut perlu cepat diketahui oleh penegak hukum jika ada pelanggaran, dan secepat itu pula segera dilakukan penindakan sekaligus upaya pemulihan lingkungan tersebut.
Dengan optimalnya penegakan hukum ini maka pencemaran dan/atau perusakan lingkungan dapat dikendalikan dan dapat diminimalisir kerusakannya segera. Selain itu, pelaku pencemaran lingkungan dapat segera ditindak berdasarkan temuan fakta di lapangan oleh aparat penegak hukum sehingga penegak hukum dalam melakukan tugasnya tanpa dipengaruhi oleh faktor-faktor subjektif lainnya yang berakibat dapat membuat ketidakpastian hukum.
Sehingga dapat merusak lingkungan dan dapat merugikan masyarakat. Kepada setiap Perusahaan yang akan mendirikan dimana Perusahaan tersebut menghasilkan limbah harus dipastikan mempersiapkan dan menyiapkan Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL) sehingga dapat mengelola hasil limbahnya secara mandiri dan tidak mencemari lingkungan di sekitar perusahaan tersebut.